33  Tahun Peristiwa Talangsari

Peristiwa Talangsari merupakan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Berdasarkan Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari telah menewaskan 130 orang, 77 orang diusir secara paksa, 53 orang haknya dirampas, dan 46 orang disiksa.

Kronologi Peristiwa Talangsari

Pada masa orde baru berlaku penerapan asas tunggal Pancasila. Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat wajib mengusung asas Pancasila. Hal tersebut juga berlaku untuk ormas keagamaan. Jika ormas tidak mengusung asas Pancasila maka ormas tersebut dianggap menganut ideologi terlarang yang akan membahayakan negara. 

Hal inilah yang terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah Sungkar.

Kelompok Usroh ini diburu oleh pemerintah orde baru dan membuat mereka melarikan diri ke Lampung. Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi yang merupakan petani sekaligus guru ngaji. Kedua kelompok ini bergabung karena memiliki tujuan yang sama, yaitu mendirikan kampung kecil untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu, 12 Januari 1989

Kepala Desa Rejabasa Lama, Amir Puspa Mega, mengirim surat kepada Camat Way Jepara,

Zulkifli Maliki, terkait kegiatan pengajian Warsidi tanpa ada laporan ke pamong setempat. Camat Way Jepara membalas surat tersebut di hari yang sama dengan memerintahkan :

  1. Meminta Kades untuk menghadap Camat hari ini juga dengan membawa 4 orang, yaitu Jayus, Warsidi, Mansur (Kaum setempat), dan Sukidi (Kadus Talangsari III).
  2. Kades harus menghentikan dan melarang kegiatan pengajian tersebut. Apalagi mendatangkan orang-orang dari luar daerah tanpa sepengetahuan pemerintah.

 

Jum’at, 20 Januari 1989

Warsidi mengirim surat balasan yang isinya menolak hadir karena kesibukan memberi materi pengajian di berbagai tempat dan mempersilahkan camat untuk mengecek langsung ke Cihideung agar lebih jelas.

Sabtu, 21 Januari 1989

Warsidi menjelaskan orang-orang yang datang ke Talangsari kepada Camat, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari, serta sekitar 7 orang staf pamong praja yang pada saat itu datang meninjau lokasi transmigrasi di Talangsari. Pertemuan ini berakhir dengan baik.

Minggu, 22 Januari 1989

Pada tengah malam, Sukidi, Serma Dahlan AR, dan beberapa orang aparat keamanan mendatangi perkampungan dan masuk ke Mushola al Muhajirin tanpa membuka sepatu dan mencaci maki, mengumpat, bahkan mengacungkan senjata api dan menentang para jama’ah. Sekitar 10 orang jama’ah menahan diri untuk tidak terpancing dan setengah jam kemudian aparat tersebut pergi karena tidak mendapatkan respon dari jama’ah.

Rabu, 1 Februari 1989

Kades Rajabasa Lama mengirim surat kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman, meminta untuk membubarkan pondok pesantren jama’ah dengan alasan pengajian gelap dan para anggota jama’ah telah menanti kedatangan aparat untuk memeriksa mereka dengan mempersiapkan bom molotov. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Kapolsek dan Camat Way Jepara.

Minggu, 5 Februari 1989

Sekitar pukul 23.45, terjadi penangkapan lima orang jama’ah yang dilakukan oleh Serma Dahlan AR, Kopda Abdurrahman, Ahmad Baherman, Sukidi, Poniran, Supar, dan beberapa masyarakat.

Senin, 6 Februari 1989

Pukul 08.30, Serma Dahlan AR menyerahkan kelima orang tersebut ke Kodim 0411 Metro.

Pukul 11.00, Kapten Sutiman beserta rombongan dan dua regu pasukannya menyerang Cihideung.

Tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu, mereka langsung menembaki perkampungan.

Dalam penyerangan ini Kapten Sutiman tewas.

Selasa, 7 Februari 1989

Sekitar pukul 05.30, Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM, dan polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda. Terjadi penyiksaan terhadap masyarakat dan pembakaran rumah dan pondok. Jama’ah yang masih selamat kemudian dipenjara.

Perkembangan Peristiwa Talangsari

Menurut KontraS, hingga saat ini masih belum ada perkembangan signifikan dari tim khusus penyelesaian Peristiwa Talangsari yang dibentuk pada 2011. Alih-alih mendorong proses penyelesaian dan pemulihan bagi korban, negara justru melakukan pertemuan dengan Wakil Bupati, Ketua DPRD Lampung Timur, Forkompimda Lampung Timur, tokoh masyarakat dan warga untuk melaksanakan “Deklarasi Damai” pada 20 Februari 2019. Namun, “Deklarasi Damai” tersebut tidak melibatkan korban sama sekali. Isi dari deklarasi tersebut meminta agar korban tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.

Korban dan masyarakat sipil pun menolak deklarasi tersebut karena kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk korban. Tidak ada satupun hak korban yang terpenuhi dalam deklarasi tersebut. 

Ombudsman Republik Indonesia juga menyatakan bahwa surat deklarasi tersebut merupakan maladministrasi karena terdapat ketidakpastian dasar hukum.