Dalam menyambut Internasional Women’s Day yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2022, Badan Eksekutif Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sukses menyelenggarakan BEM TALK’S Mahasiswa Mengkaji Isu yang di bungkus dalam bentuk diskusi. Pada kesempatan kali ini, kami mengangkat tema diskusi “Perempuan Dalam Belenggu” acara ini dilaksanakan secara hybrid pada hari ini Kamis, 7 Maret 2022 di Ruang Sidang Ar. Fachruddin B Lantai 5 Kampus UMY serta melalui platform Zoom Meetting dan livestreaming youtube BEM KM UMY.

        Secara umum diskusi kali ini mengangkat tentang maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi membuktikan bahwa hak asasi perempuan dan ruang aman yang belum sepenuhnya tercipta. Banyak sekali stigma masyarakat yang masih merendahkan perempuan, walaupun pada saat ini sudah kita lihat bahwa perempuan telah bisa mengenyam pendidikan, bekerja, dan bahkan menduduki kursi pemerintahan. Tetapi, perlu kita ketahui bahwa banyak isu lain terkait kesejahteraan perempuan yang masih belum terselesaikan.

        Oleh sebab itu, dilaksanakannya acara ini guna untuk memberikan informasi dan wawasan kepada seluruh masyarakat betapa pentingnya memperjuangkan kesejahteraan perempuan guna nantinya dapat menciptakan ruang aman dan nyaman bagi mereka untuk berekspresi. Menurut Ibu Raudatul Jannah dari LBH Yogyakarta “Perempuan mempunyai hak yang sama dalam konstitusi UUD 1945. Sampai sekarang budaya patriarki masih sering terjadi di Indonesia dan perempuan sering mengalami tindakan dan tindas balik oleh culture maupun peraturan atau yang bisa kita sebut dengan sexual abuse in women” dilihat pada kondisi saat ini kekerasan seksual terhadap wanita masih dominan terjadi, khususnya di Perguruan tinggi. Kasus kekerasan dan pendindasan seksual marak terjadi.

         Salah satu contoh isu yang sedang hangat saat ini adalah dampak dari konflik tanah di Desa Wadas, banyak sekali perempuan dan anak yang mengalami trauma mendalam akibat tindak represifitas dari aparat. Kasus ini begitu sangat berdampak traumatis begitu mendalam pada perempuan dan anak yang memberikan rasa tidak nyaman dan menghambat aktivitas warga Wadas. Tidak hanya di Wadas, di Sulawesi Tenggara (Sultara) juga terdapat aktivitas tambang di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) yang meresahkan, hal ini memberikan dampak terhadap kaum perempuan sehingga mereka turut ikut serta menyuarakan perjuangan dan turun ke jalan, hal ini membuktikan bahwa negara yang tidak tegas untuk mengurusi kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap hak perempuan.

        Dalam upaya pembangunan perempuan berbasis gender “Jika melihat apa yang disampaikan oleh Kementrian Pembanguna dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, diskriminasi gender dalam berbagai hal di kehidupan bermasyarakat menimbulkan perbedaan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Data IPG dan IDG begitu disoroti masih terjadi perberdaan yang cukup signifikan antara pempuan dan laki-laki, lalu capaian Indonesia pada IPM tahun 2019 ini mendudukkan Indonesia pada peringkat 107 dari 189 negara hal ini membuktikan bahwa pemerintah belum dapat melakukan pemberdayaan dan pengembagan manusia berbasis gender dengan maksimal “Tanggap Aditya Halimawan dari Menko Analisis dan Pergerakan BEM KM UGM 2021/2022, dalam diskusi.

         Belum adanya aturan khusus yang lebih regit mengatur terkait KS untuk memberikan kepastian perlindungan pemenuhan hak serta pemulihan dampak KKS kepada khalayak umum sangat sulit diperoleh. Tidak adanya perlindugan dan penanganan yang jelas membuat banyak korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam, mereka takut untuk bersuara karena tidak mempunyai ruang. Terutama pada korban yang berada di lingkungan kampus “Mengingat kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di masyarakat adalah kekerasan seksual dalam lingkup kampus, dalam Permendikbud-Ristek N0.30 Tahun 2021 pasal 20 adalah prespektif dalam pemulihan korban dan seharusnya peraturan ini juga memiliki kewajiban untuk melakukan rehabilitasi pada pelaku. Kendala pada implementasi Permendikbud-Ristek No.30 tahun 2021 tiap perguruan tinggi, ini menjadi pertanyaan terhadap peraturan yang di keluarkan? Melihat fakta di lapangan, kekerasan seksual terjadi dalam lingkup kampus tidak terselesaikan, mandek di kampus, kepolisian dan lain sebagainya. Kontroversi pro-kontra terhadap pasal yang liberal seperti dianggap melegalkan sebuah perzinahan, bisa dilihat adanya relasi kekuasaan yang timpang. Mengingat pihak perguruan tinggi tidak ada proses keadilan dan penekanan pada hak dasar yang seharusnya dapat di penuhi.” Tanggap Aditya Halimawan dari Menko Analisis dan Pergerakan BEM KM UGM 2021/2022

        “Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menjadi salah satu langkah progresif dari Kemendikbud, jika dilihat dari substansinya sebagai upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di lingkup perguruan tinggi, yang menjadi pertanyaanya adalah mengapa saat ini masih banyak di beberapa Universitas yang belum dapat mengimplementasikan permendikbud ristek ini sendiri, apakah permasalahannya pada sexual consent? jika ia, seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah maupun kemendikbud untuk segera merefitalisasi agar peraturan ini tidak hanya menjadi produk yang sia-sia. Jika kita lihat hari ini, permasalahan tentang perempuan dan kesetaraan gender belum mendapatkan perhatian dan fokus dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Contoh lainya hingga sampai saat ini RUU PKS belum mampu untuk disahkan, hal ini membuktikan tidak adanya kepedulian pemerintah dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual yang terjadi di khalayak umum. Terlepas dari itu, masih banyak lagi Undang-Undang yang menyengsarakan rakyat salah satunya adalah UU Ciptaker yang beberapa waktu lalu hangat di bicarakan, tentang bagaimana pemerintah mengatur pengurangan hak bagi perempuan.” Sambung Yakub Adi Putra dari Menteri KASTRAD BEM KM UMY 2021/2022.

        Bukti bahwa belum terealisasinya kesetaraan gender dapat di lihat dari diskriminasi pekerjaan, seperti pemimpin itu harus laki-laki, “Sosialis mempunyai obsesi yang bagus dibandingkan liberalis PBB mengambil alih dan menunjukan dukungan kepada perempuan dengan cara meresmikan IWD. Gender quality indeks Indonesia pada tahun 2021 nomor 111 terdapat kebijakan tidak internal dan teori tidak internal. Undang-undang dan statement terkait kekerasan seksual dengan mengimplementasikannya. Kesetaraan gender ini mengenai kebutuhan, seperti kebutuhan perempuan dan kebutuhan laki-laki.” Materi yang di sampaikan oleh Ibu Nur Azizah selaku Dosen Gender and Politics Hubungan Internasional UMY.

 “Ketidakadilan gender yaitu adanya marginalisasi perempuan, subordinasi di ranah politik, stereotype, beban ganda, dan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan berupa fisik, psikis, seksual, ekonomi dan banyak lagi. Kekerasan berbasis gender ini sering kali menggunakan tubuh perempuan sebagai posisi tawaran secara online. Hal ini menciptakan pola pikir tidak adanya korelasi anatara pemahaman yang bagus dan pengetahuan tentang perempuan.” Tambah Ibu Siti Darmawati dari Lembaga Rifka Annisa

        Permasalahan kesetaraan gender adalah permasalahan yang kompleks karena bisa di lihat dari beberapa perspektif “Apa yang sebenarnya disetarakan diantara dua hal berbeda”. Patriarki menjadikan perempuan sebagai kelas kedua, kurangnya keadilan dan keamanan juga mempengaruhi belum terciptanya kesetaraan gender yang selaras. Selanjutnya sebagai mahasiswa hari ini tidak lagi membahas tentang wacana, tetapi bagaimana harus bisa menghadirkan sebuah gagasan sebagai daya tawar.

 
        Dari permasalahan yang begitu komplek di harapkan dari hasil diskusi ini dapat memberikan sebuah pandangan lain terhadap diskursus gender serta gagasan terhadap perjuangan perempuan. Stigma masyarakat yang mengecam perempuan harus segera di akhiri agar hak asasi perempuan dan ruang aman untuk berekspresi dapat terciptakan secepat mungkin.